Prioritastv.com, Kuningan, Jawa Barat – Saat seluruh bangsa Indonesia merayakan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80 dengan gegap gempita, di sudut kecil Desa Peusing, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan, seorang perempuan sederhana menunjukkan makna kemerdekaan yang sesungguhnya.
Dialah Tati Kusti Kurniasih, srikandi tanpa mahkota yang telah mengabdikan tujuh tahun hidupnya untuk mereka yang terpinggirkan, orang dengan gangguan jiwa (ODGJ), penyandang disabilitas, pasien kanker, hingga gelandangan.
Baginya, kemerdekaan bukan sekadar upacara dan bendera, melainkan memastikan setiap orang, tanpa kecuali, merasakan hak hidup yang layak.
Penampilannya sederhana, senyumnya tulus, tetapi langkahnya selalu teguh membantu bahkan membersihkan luka kaki kaum ODGJ.
Momen kemerdekaan tahun ini menjadi pengingat bagi dirinya bahwa perjuangan bukan hanya milik para pahlawan di medan perang, tetapi juga milik mereka yang bertarung melawan keterbatasan, kemiskinan, dan kesepian.
Ia pernah mendampingi pasien ODGJ yang tak diterima keluarga, membantu penderita kelenjar steoroid dari keluarga miskin hingga mengurus BPJS-nya, dan merangkul penyandang disabilitas agar merasa dihargai.
Di usianya yang tak muda, ia terus melangkah tanpa pamrih, seolah mengibarkan bendera kemanusiaan di setiap tempat yang ia singgahi.
Di mata warga, Tati adalah wujud kemerdekaan itu sendiri: kebebasan untuk berbuat baik, keberanian untuk peduli, dan ketulusan untuk berbagi.
Tati berkisah, awalnya ia merasa iba melihat seorang ODGJ, dari situlah hatinya tergerak, membantu sebisa dan semampu dirinya.
“Tidak ada imbalan dari siapapun, tidak ada bayaran dari pihak manapun. Semua dari hati,” tutur Ibu Tati dengan mata yang berkaca-kaca saat ditemui Media Prioritastv.com, Jumat 15 Agustus 2025.
Bagi Tati, setiap nyawa memiliki nilai yang sama. Tidak peduli status, fisik, atau penyakitnya, semua berhak mendapatkan kasih sayang.
“Mereka juga berhak merdeka, merdeka dari rasa takut, merdeka dari kesedihan, merdeka dari keterasingan. Kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi?” tutupnya lirih. (Arif Rahman)