Oleh: [Abid Bisara]
Setiap tahun, bendera merah putih dikibarkan dengan gegap gempita, di momentum 17 Agustus, pidato tentang kemerdekaan bergema, dan euforia kebangsaan membanjiri ruang publik. Namun, di balik simbol-simbol itu, ada pertanyaan yang terus menggantung, apakah kemerdekaan ini benar-benar dirasakan oleh rakyat? atau hanya menjadi retorika di atas kertas?
Secara konstitusi, Indonesia telah merdeka sejak 1945. Namun, dalam praktiknya, kemerdekaan itu masih menjadi mimpi bagi banyak orang. Kebijakan-kebijakan pemerintah justru kerap mencekik rakyat kecil. Kenaikan harga BBM, tarif listrik, dan pajak yang terus membumbung membuat hidup semakin sulit. Sementara itu, subsidi untuk korporasi besar justru mengalir deras. Rakyat dipaksa gigit jari, sementara segelintir elite menikmati fasilitas mewah.
Indonesia Merdeka tapi tidak merdeka bagi rakyat kecil. Jika kemerdekaan berarti kesejahteraan, lalu mengapa jalan-jalan di banyak provinsi masih berlubang? Jembatan rubuh, sekolah ambruk, dan akses kesehatan yang jauh dari layak masih menjadi pemandangan sehari-hari.
Dana desa yang digembar-gemborkan nyatanya kerap salah sasaran. Di Papua, Sulawesi, bahkan Jawa sekalipun, ketimpangan infrastruktur masih sangat nyata, termasuk di Lampung, contoh di Way Haru Pesisir Barat yang masih menjadi wilayah terisolir, minim infrastruktur, tidak tersedianya jaringan listrik dan sinyal seluler. Padahal, anggaran triliunan digelontorkan setiap tahun. Ke mana larinya?
Semakin sejahteranya para pejabat, gaji legislatif yang terus naik tanpa kerja yang jelas untuk rakyat, sedangkan gaji guru jauh dari kata layak, apakah ini Keadilan yang Pilih Kasih?
Belum lagi tingkat kepercayaan penegak hukum sangat dipertanyakan oleh rakyat. Hukum di Indonesia ibarat pisau yang tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas, dimana koruptor, perampas uang rakyat di pelihara dan dilindungi, sementara masyarakat yang mencuri sebatang kayu hanya untuk bertahan hidup, harus di masa, dihukum berat, dengan alasan efek jera.
Rakyat kecil yang mencuri ayam dipenjara, sementara koruptor yang merampok uang negara justru bebas berkeliaran. Kasus BLBI, Jiwasraya, atau korupsi dana COVID-19, kurupsi pertamina, kasus tambang hanya segelintir contoh betapa hukum bisa dibeli. Ketika rakyat menuntut keadilan, yang mereka dapatkan justru represi. Akankah pristiwa di Kabupaten Pati harus terulang di istana negara?
Kemerdekaan seharusnya berarti kebebasan dari penjajahan, termasuk penjajahan oleh sistem yang tidak adil. Namun, hingga detik ini, rakyat masih terjajah oleh kebijakan yang tidak pro-rakyat, infrastruktur yang bobrok, dan hukum yang tebang pilih.
Jika kemerdekaan hanya dirayakan dengan upacara dan jargon kosong, lalu apa artinya? Merdeka bukan sekadar bendera berkibar, melainkan ketika rakyat benar-benar merasakan keadilan dan kesejahteraan. Sampai kapan kita hanya akan jadi penonton di negeri sendiri?
Selamat Hut ke-80 negaraku Republik Indonesia, kami rakyat terus mendoamu, dan menanti perubahan nyata yang hingga kini belum kami rasakan sepenuhnya, dan menanti pulihnya sila kelima yakni keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, dirgahayu Indonesia ku.