Prioritastv.com, Pringsewu Lampung – Kendatipun terindikasi terdapat temuan dalam pengelolaan Dana Desa Tahun Anggaran 2023, Pekon Sukoharjo III Barat tetap dapat mencairkan anggaran Dana Desa untuk tahun 2024 hingga tahun 2025 ini.
Ironisnya, dugaan penyimpangan ini bukan tanpa jejak. Pengawasan melalui mekanisme monitoring dan evaluasi (monev) sejatinya telah dilakukan sejak 2022.
Namun, temuan-temuan tersebut tidak pernah menjadi dasar untuk menunda pencairan.
Sistem monev yang seharusnya berfungsi sebagai alat kontrol pencairan, justru terbukti tak efektif bahkan ketika indikasi penyalahgunaan sudah nyata.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius tentang siapa yang seharusnya bertanggung jawab dalam rantai pengawasan.
Dalam struktur monev, pihak yang memiliki wewenang dan kewajiban melaksanakan pengawasan adalah Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Pekon (DPMP) Kabupaten Pringsewu, pemerintah kecamatan, serta pendamping desa yang melekat langsung ke pekon.
Ketiga pihak ini memiliki akses terhadap laporan keuangan, dokumen SPJ, dan pelaksanaan kegiatan lapangan.
Namun dalam kasus ini, mereka gagal mendeteksi, merespons, atau setidaknya merekomendasikan penundaan pencairan atas dasar temuan di tahun sebelumnya.
Secara teknis, kelalaian dalam monev dapat dijelaskan secara rinci sebagai berikut:
Tidak adanya verifikasi silang antara dokumen dan realisasi fisik di lapangan, sehingga kegiatan fiktif atau mark-up anggaran tidak terdeteksi.
Tidak dilakukan audit validasi menyeluruh terhadap SPJ yang telah terbukti bermasalah, namun tetap dinyatakan lengkap secara administratif.
Laporan hasil monev tidak ditindaklanjuti dengan rekomendasi sanksi administratif, padahal pekon telah mencatatkan temuan yang signifikan.
Minimnya koordinasi antar unsur pengawas, membuat informasi temuan hanya berhenti di meja laporan tanpa berdampak pada proses pencairan tahun berikutnya.
Kondisi ini memunculkan dugaan bahwa monev selama ini hanya berorientasi pada kelengkapan berkas, bukan substansi kegiatan.
Tidak heran bila pekon bermasalah tetap lolos verifikasi dan menikmati kucuran dana tanpa perbaikan tata kelola.
Baru setelah kasus ini mencuat ke permukaan, publik tahu bahwa Kepala Pekon Sukoharjo III Barat berinisial G telah resmi ditahan oleh Tim Tipikor Satreskrim Polres Pringsewu.
Dalam konferensi pers pada Senin (23/6/2025), Kapolres Pringsewu AKBP M. Yunnus Saputra menyatakan bahwa tersangka menyalahgunakan Dana Desa senilai hampir Rp500 juta dari APBDes Tahun Anggaran 2023 untuk kepentingan pribadi.
Audit Inspektorat menunjukkan kerugian negara sebesar Rp478.615.276.
“Tersangka G bertindak sepihak dalam mengelola anggaran, tanpa melibatkan TPK, dan menggunakan dana tanpa SPJ sah. Modusnya termasuk kegiatan fiktif, mark-up anggaran, serta menjaminkan aset desa,” ujar Kasat Reskrim AKP Johannes Erwin Sihombing.
Mirisnya, dari kerugian ratusan juta itu, hanya Rp10 juta yang berhasil disita sebagai barang bukti.
G dijerat Pasal 2 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara.
Namun, persoalan paling mendasar bukan hanya soal tindakan pelaku.
Pertanyaan yang lebih besar adalah: mengapa sistem pengawasan yang seharusnya melindungi uang rakyat justru membiarkan kebocoran ini terjadi dan bahkan berlanjut hingga tahun berikutnya?
Menanggapi persoalan ini, tokoh masyarakat Kabupaten Pringsewu yang juga pengamat ekonomi, HD, menyebutkan bahwa persoalan korupsi Dana Desa tidak akan selesai jika pengawasan hanya berhenti pada tataran simbolik.
“Bila monev hanya menjadi rutinitas seremonial dan tidak dijadikan dasar pengambilan kebijakan, maka bukan hanya kerugian negara yang kita hadapi, tapi hilangnya akuntabilitas di tingkat desa,” ujar HD.
Ia menilai, lemahnya tindak lanjut dari pihak-pihak yang terlibat dalam pengawasan menunjukkan bahwa sistem ini tidak memiliki mekanisme kontrol yang serius.
“Kita bisa lihat sendiri, temuan di tahun sebelumnya tidak dicegah, bahkan malah diberi pencairan. Itu artinya, sistem ini tidak sedang mengawasi tapi membiarkan,” tegasnya. ( Davit)