Prioritastv.com, Lampung Barat – Non-Government Organization (NGO) yang fokus terhadap kelestarian harimau sumatera (Panthera Tigris Sumatrae), Forum HarimauKita mengungkap bahwa tiga lokasi perkebunan terjadinya konflik harimau di Kabupaten Lampung Barat disebut masih masuk kawasan hutan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS).
Fakta ini diungkapkan, Ketua Forum HarimauKita, Drh. Erni Suyanti, yang menyebut, keberadaan harimau yang berkonflik dengan warga itu masih di dalam kawasan konservasi TNBBS, yang diperkuat diperkuat dengan hasil verifikasi temuan tapak baru, temuan sisa satwa mangsa, dan perjumpaan langsung, harimau itu masih berada di dalam kawasan TNBBS.
“Jejalahnya (harimau) itu masih di dalam taman nasional,” kata Yanti, sapaan akrabnya, dalam keterangan tertulis kepada Kompas, Rabu 20 Maret 2024.
Yanti mengungkapkan, sebenarnya aktivitas wargalah yang masuk ke dalam kawasan taman nasional tersebut sehingga terjadi perjumpaan dengan harimau yang memang lokasi perkebunan itu masih wilayah jelajahnya.
Adapun tiga lokasi terjadinya serangan itu adalah perkebunan di Pekon (Desa) Hantatai (Kecamatan Bandar Negeri Suoh) dan Pekon Ringinsari, serta Pekon Sumber Agung (Kecamatan Suoh).
“Mereka (warga) berkebun di dalam kawasan taman nasional secara ilegal. Termasuk korban kedua dan ketiga itu sedang bekerja di kebun yang berada dalam kawasan TNBBS,” ungkapnya.
Meski ada toleransi dari pengelola kawasan hutan bahwa masyarakat masih bisa beraktivitas di dalam kawasan konservasi, hal ini harus melalui mekanisme kerja sama kemitraan konservasi antara kelompok masyarakat asli daerah tersebut dengan pengelola kawasan hutan.
“Namun, saya kurang tahu apakah di kawasan TNBBS Resort Suoh, telah ada kerja sama kemitraan konservasi dengan kelompok masyarakat di sana atau belum,” ungkap dia.
Biasanya, jika ada kemitraan konservasi ada hak yang diberikan kepada masyarakat untuk tetap bisa mengelola kebunnya dengan batas waktu tertentu, misalnya 10 tahun. Sekaligus ada tanggung jawab kepada pemerintah untuk mendukung kegiatan konservasi di daerah tersebut.
Kemudian, terkait solusi atau penanganan tanpa mengorbankan masyarakat maupun harimau itu, Yanti berpendapat perlunya pertimbangan yang sangat matang untuk mengurangi risiko bagi keduanya.
“Perlu pertimbangan langkah untuk mengurangi risiko yang diderita oleh masyarakat, baik itu harta maupun jiwa, sekaligus didasari pertimbangan terbaik untuk keselamatan satwanya, jangan sampai terluka atau terbunuh,” beber dia.
“Dan karena memiliki dampak sosial ekonomi masyarakat di daerah tersebut maka harus melibatkan berbagai pihak terkait,” tambahnya.
Diketahui, konflik satwa liar ini telah menimbulkan korban jiwa sebanyak dua orang, yakni Sahri (28), warga Dusun Peninjauan, Pekon (Desa) Bumi Hantati, Kecamatan Bandar Negeri Suoh, serta Gunarso (47), warga Pekon Sumber Agung. Sedangkan korban lainnya yakni Samanan (41), warga Pekon Sukamarga, mengalami luka parah di kepala akibat terkaman harimau.
Diketahui, Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Lampung Barat, Ferdi Adrian mengatakan bahwa pihaknya, akan melakukan investigasi menyeluruh terkait serangan harimau yang menyebabkan dua korban tewas.
“Kami akan menelusuri apakah ada keterkaitan antara kegiatan ilegal dan masuknya harimau ke pemukiman warga. Dugaan tersebut dapat berpotensi menjadi tindak pidana korupsi yang merugikan negara,” kata Ferdi Adrian dalam siaran pers yang diterima Media Prioritastv.com.
Ferdi Ardian menekankan bahwa isu-isu terkait kerusakan ekosistem dan lingkungan akan menjadi fokus utama dalam penegakan hukum. Komitmen ini sejalan dengan upaya melindungi keberlanjutan ekosistem harimau Sumatera dan mencegah serangan-serangan yang membahayakan warga.
“Pelaku yang terlibat dalam dugaan tindak pidana di bidang lingkungan hidup akan ditindak sesuai hukum yang berlaku. Kejaksaan Negeri Lampung Barat berkomitmen mendukung pelestarian alam dan keberlanjutan ekosistem,” tegasnya. (Kamto Winendra)